Penerapan Building Information Modeling (BIM)
Building Information Modeling (BIM) adalah salah satu teknologi di bidang AEC (Arsitektur, Engineering dan Construction) yang mampu mensimulasikan seluruh informasi di dalam proyek pembangunan ke dalam model 3 dimensi.
Pemanfaatan teknologi Building Information Modeling (BIM) ini sudah tidak asing lagi bagi industri AEC di dunia, termasuk di Indonesia. Selama perjalanannya, BIM telah mendapatkan respon yang positif dari masyarakat mengingat keuntungan yang ditawarkan di bidang AEC. Dengan menerapkan BIM dalam dunia konstruksi, baik bagi developer, konsultan maupun kontraktor akan mampu menghemat waktu pengerjaan, biaya yang dikeluarkan serta tenaga kerja yang dibutuhkan.
Penerapan Building Information Modeling (BIM) di Indonesia telah diterapkan oleh sejumlah pemain besar sektor industri konstruksi seperti PT. Pembangunan Perumahan (PT PP) yang merupakan perusahaan BUMN dan PT. Total Bangun Persada dari perusahaan swasta. Metode BIM juga mulai diaplikasikan di sektor pengembang/developer seperti PT. Intiland. Setelah itu, metode BIM juga telah diaplikasikan oleh konsultan perancangan seperti PT. PDW Architects. Namun setelah beberapa tahun BIM diaplikasikan di Indonesia, penggunaannya dirasakan belum maksimal, bahkan bisa dikatakan semakin stagnan. Memang BIM yang telah diaplikasikan diberbagai sektor tersebut tetap memberikan keuntungan sesuai dengan ekspektasi masing-masing aktor. Namun, pengaplikasian BIM dalam sektor industri konstruksi di Indonesia masih hanya sebatas menjawab persoalan bagaimana mengefisiensikan kebutuhan tenaga kerja, waktu dan uang. Jika kita berkaca pada bagaimana pengaplikasian metode BIM di Amerika Serikat, potensi yang dicapai dari pengaplikasian metode BIM di Indonesia masih jauh dari kata maksimal.
Pemahaman mengenai Building Information Modeling (BIM) sendiri perlu diluruskan terlebih dahulu, yang mana pengaplikasian BIM itu bukan hanya sekedar menggunakan perangkat lunak dalam pengerjaan suatu proyek konstruksi. Pengaplikasian BIM tersebut memang membutuhkan perangkat lunak khusus, seperti Autodesk Revit, ArchiCAD, AECOSim, dan software lainnya, namun sekedar penerapan software tersebut hanya menjabarkan kulit luar dari pengaplikasian metode BIM itu sendiri.
Oleh karenanya, Building Information Modeling (BIM) harus didefiniskan sebagai: sistem, manajemen, metode atau runutan pengerjaan suatu proyek yang diterapkan berdasarkan informasi terkait dari keseluruhan aspek bangunan yang dikelola dan kemudian diproyeksikan kedalam model 3 dimensi.
Teknologi Building Information Modeling (BIM) sendiri sudah dikenal dari tahun 2003 di Amerika Serikat Serikat. BIM di Amerika Serikat dimulai dengan meluncurkan 9 proyek percobaan yang dilakukan oleh General Service Administration (GSA), organisasi pemerintahan utama yang mengimplementasikan BIM di sektor fasilitas umum. Kemudian di tahun 2006, GSA kembali meluncurkan 3 proyek percobaan lainnya menggunakan alat pemindai laser terhadap bangunan dan menggunakan data yang diperoleh untuk membuat model BIM as-built dari bangunan tersebut. Hasil yang diperoleh digunakan untuk merencanakan pengembangan kedepannya dari bangunan tersebut.
Dimulai dari inisiasi tersebut, pada tahun 2007 penggunaan Building Information Modeling (BIM) di Amerika Serikat berkembang dengan pesat. Pada tahun 2009, 50% industri di Amerika Serikat sudah mengaplikasikan BIM. Hal tersebut meningkat sebanyak 75% dari tahun 2007. 42 persen pengguna BIM di Amerika Serikat Serikat berada di level expert dan advanced, yang jumlahnya berkembang sebanyak 3 kali lipat dari tahun 2007.
GSA terus melakukan langkah-langkah strategis lainnya dalam mengembangkan penerapan Building Information Modeling (BIM) di Amerika Serikat. Diantaranya sebagai berikut:
Mengarahkan penggunaan Building Information Modeling (BIM) berbasis Industry Foundation Classes (IFC) serta mengarahkan agar penggunaan BIM tidak hanya didasari atas efisiensi biaya saja, tetapi juga atas dasar keuntungan lainnya yang ditawarkan seperti kemampuan untuk mengeksplorasi metode engineering yang berbeda, melakukan analisis energi, mendapatkan spesifikasi prduk secara otomatis dan juga penghematan dalam penggunaan kertas;
Mengarahkan agar setiap desain bangunan baru yang melalui Public Building Services (PBS) menggunakan Building Information Modeling (BIM) pada proses perancangannya;
Menuntut adanya standard Building Information Modeling (BIM) Nasional pada tahun 2006, yang direncanakan akan digabungkan ke dalam standard keseluruhan proses pelaksanaan proyek bangunan;
GSA juga bekerja sama dengan organisasi industri real estat dan properti dunia untuk mendukung standard software dan sistem BIM. Organisasi tersebut termasuk Finland’s Senate Properties, the Danish Enterprise and Construction Authority, dan Norway’s Directorate of Public Construction and Property. Tujuannya adalah untuk mempromosikan interoperabilitas dan kemudahan di dalam pertukaran data bagi masing-masing pengembang/developer.
Membuat demonstrasi pengaplikasian desain hemat enegi pada proyek San Fransisco Federal Building Project dengan memotong 50% energi yang dibutuhkan bangunan kantor pada umumnya. Dengan konsep ini, bangunan di desain dengan lebar yang optimal dengan pencahayaan dan penghawaan alami. Penerapan Building Information Modeling (BIM) di proyek ini mendukung perangkat dasar yang dibutuhkan untuk integrasi desain awal konsultan perancangan, struktur, mekanikal elektrikal dan plumbing (MEP). Selain itu GSA juga menerapkan konsep hemat energi di dalam proyek Salt Lake City Federal Courthouse, GSA juga memanfaatkan BIM untuk mendata penggunaan ruang, manajemen tenant dan mengevaluasi kesesuaian desain dengan program yang dibutuhkan.
Untuk menanggapi kondisi saat terjadi bencana, GSA mengembangkan teknologi ‘avatar’ yang diadopsi dari industri game untuk menciptakan simulasi perilaku manusia di dalam model virtual. Melalui simulasi tersebut, model Building Information Modeling (BIM) akan diisi oleh manusia virtual yang memiliki kemampuan untuk berjalan, berlari, beralik, lalu mencari pintu keluar terdekat. Melalui simulasi tersebut akan didapatkan pola pergerakan dan waktu yang dibutuhkan pengguna untuk menyelamatkan diri ketika terjadi bencana pada bangunan yang dirancang.
Belajar dari bagaimana langkah Amerika Serikat (AS) dalam menerapkan penggunaan metode Building Information Modeling (BIM), aktor industri arsitektur, enginering dan konstruksi di Indonesia masih belum serius dalam melihat potensi yang bisa dikembangkan dari penerapan teknologi ini. Permasalahannya, penerapan BIM di Indonesia masih dilakukan secara sporadis oleh masing-masing pelaku bisnis tanpa ada lembaga atau organisasi yang saling mengkoordinir antar stakeholder sehingga tidak ada ketercapaian lain yang ditargetkan dari penggunaan BIM selain mengefisiensikan kebutuhan tenaga kerja, waktu dan uang. Langkah awal yang bisa dilakukan oleh Indonesia adalah menggagas sebuah organisasi profesional seperti GSA di Amerika Serikat, yang berkapabilitas untuk mendorong potensi pengaplikasian BIM di semua sektor AEC di Indonesia secara aktif dan juga bertugas untuk menyusun visi misi yang terus menerus kedepannya dari penggunaan BIM sehingga perkembangan BIM di Indonesia tidak berada dalam posisi yang stagnan.