Kompas.com memuat artikel mengenai akreditasi ABET yang berhasil di raih Teknik Sipil Binus University.

http://print.kompas.com/baca/2015/09/04/Akreditasi-Global-sebagai-Pengakuan-Kualitas-Mahas

Berikut kutipan artikel tersebut oleh LARASWATI ARIADNE ANWAR

 

JAKARTA, KOMPAS — Fakultas teknik di perguruan-perguruan tinggi berusaha mencapai pengakuan dari industri multinasional melalui akreditasi oleh Badan Akreditasi Keinsinyuran dan Teknologi (ABET). Hal ini merupakan salah satu cara untuk mencetak insinyur-insinyur siap pakai di Indonesia.

Para pencari kerja berkerumun untuk mengirim lamaran kerja secara dalam jaringan (online) dalam Binus Online Job Expo yang berlangsung di Universitas Bina Nusantara, Jakarta, beberapa waktu lalu. Binus merupakan perguruan tinggi ketiga di Indonesia, setelah Institut Teknologi Bandung dan Institut Pertanian Bogor, yang beberapa program studi tekniknya diakreditasi ABET.
KOMPAS/PRIYOMBODOPara pencari kerja berkerumun untuk mengirim lamaran kerja secara dalam jaringan (online) dalam Binus Online Job Expo yang berlangsung di Universitas Bina Nusantara, Jakarta, beberapa waktu lalu. Binus merupakan perguruan tinggi ketiga di Indonesia, setelah Institut Teknologi Bandung dan Institut Pertanian Bogor, yang beberapa program studi tekniknya diakreditasi ABET.

Menurut Dekan Fakultas Teknik Universitas Bina Nusantara (Binus) John Freddy Bobby Saragih, ada dua cara bagi seorang insinyur untuk mendapat pengakuan. Pertama, melalui pelatihan profesi keinsinyuran yang diikuti secara individual. “Kedua adalah secara eksekutif, yaitu apabila jurusan atau program studi teknik tersebut resmi memiliki akreditasi ABET,” katanya di Jakarta, Jumat (4/9).

ABET berasal dari Amerika Serikat dan resmi sebagai standar dalam program-program ilmu teknik dan komputer di dunia. Universitas Binus pada 5 Agustus 2015 dinyatakan resmi menerima akreditasi ABET untuk tiga jurusan, yakni Teknik Industri, Teknik Sipil, dan Sistem Komputer. Dengan demikian, Binus merupakan perguruan tinggi ketiga di Indonesia, setelah Institut Teknologi Bandung dan Institut Pertanian Bogor, yang beberapa program studi tekniknya diakreditasi ABET.

Bobby menuturkan bahwa hal tersebut akan memudahkan para lulusan dalam mencari pekerjaan, baik di Indonesia maupun di luar negeri, karena kemampuan beserta keterampilan mereka terjamin. “Tentu saja, apabila peraturan presiden tentang sertifikasi insinyur sudah keluar, mereka juga bisa mengambil pendidikan profesi agar memiliki sertifikat insinyur profesional,” ujarnya.

Fokus ke mahasiswa

Ketua Persiapan Akreditasi ABET di Binus Ho Hwi Chie menjelaskan, proses persiapan memakan waktu enam tahun untuk melengkapi seluruh persyaratan. Mulai dari proses penerimaan mahasiswa baru, kurikulum, pembimbingan, kualitas serta beban kerja dosen, pembuatan karya, hingga kesinambungan program diperbaiki agar sesuai standar ABET.

“Akreditasi tersebut akan terus diawasi ABET untuk memastikan Binus benar-benar berkomitmen menjalankan pendidikan teknik sesuai standar internasional. Kalau kami lalai, akreditasi berisiko dicabut,” ujarnya.

Dalam proses, para mahasiswa turut dilibatkan. Tujuannya adalah mendengar aspirasi dari mereka sehingga perbaikan yang dilakukan tepat sasaran. Mahasiswa juga diberi kenyamanan fasilitas, seperti perpustakaan yang lengkap, mentoring dengan dosen di luar jadwal kuliah apabila masih ada hal yang belum dimengerti, serta materi kuliah yang bisa diunduh beberapa bulan sebelum perkuliahan dimulai.

“Kuliah teknik sangat sulit. Jadi, jangan sampai mahasiswa malah pusing karena kekurangan di bagian-bagian yang seharusnya bisa mendukung studi mereka,” kata Bobby.

Ia juga menuturkan, mahasiswa dimagangkan ke industri yang sesuai dengan bidang teknik yang mereka pelajari. Mereka juga membantu penelitian para dosen yang menjadi narasumber di berbagai proyek pembangunan infrastruktur pemerintah untuk mencari solusi dari berbagai permasalahan riil. Ketika lulus, atas rekomendasi dosen pembimbing, mereka masuk ke perusahaan-perusahaan yang terlibat pembangunan tersebut agar ilmunya bisa dipraktikkan.

Pada kesempatan terpisah, Wakil Direktur Eksekutif Persatuan Insinyur Indonesia Ngadiyanto menjelaskan, Indonesia mengalami krisis insinyur di lapangan karena hanya 45 persen dari lulusan jurusan teknik yang benar-benar berpraktik pada bidang tersebut. Sisanya bekerja di bidang-bidang lain.

“Harus ada perubahan sistemik agar para sarjana teknik dan insinyur muda tertarik bekerja membangun bangsa dengan ilmu keinsinyuran mereka. Kalau tidak, pada 2019, Indonesia akan defisit 120.000 orang insinyur,” ujarnya.